Cacat Ideologi, Pemikira dan Gerakan


Menjadi mahasiswa adalah suatu privelese, sebab tidak semua orang mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Tidak heran jika status mahasiswa seringkali merupakan kata yang disematkan dengan predikat melampaui Dewa. Mahasiswa merupakan motor penggerak perubahan yang memiliki idealisme tinggi, nalar kritis, dan keberanian melawan kemapanan. Sejarah telah mencatat bahwa berbagai perubahan besar di negeri ini dipelopori oleh mahasiswa.


Namun masuk dalam ranah kampus hari ini, miris saya melihat realitas bahwa mahasiswa sudah kehilangan taringnya, mahasiswa seolah tak berdaya lagi. Mahasiswa yang sebelumnya sangar bagai harimau, sekarang hilang bagai tikus. Hedonis, apatis dan individualis adalah kondisi real mahasiswa hari-hari ini. Bahkan saya berasumsi bahwa mahasiswa hari ini telah cacat ideologi, cacat pemikiran, dan cacat gerakan.

Memang, di luar sana masih ada segelintir mahasiswa yang masih kokoh mempertahankan jati diri sebagai mahasiswa yang sasungguhnya. Beberapa warung kopi masih ramai dengan forum diskusi, dalam ruang kelas pun masih ada yang mampu dan berani menyampaikan pendapat, berdebat dan beradu gagasan. Masih ada segelintir mahasiswa yang mau memperjuangkan keadilan, baik di dalam maupun luar kampus.

Mahasiswa memiliki tanggung jawab luar biasa yang dikenal sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi berasal dari kata Tri yang berarti tiga, dan Dharma yang berarti kewajiban. Jadi Tri Dharma Perguruan Tinggi ini merupakan tiga pilar utama pola pikir yang harus dimiliki oleh mahasiswa dan sudah menjadi kewajiban untuk merealisasikannya. Tiga pilar tersebut antara lain, Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan, serta Pengabdian Kepada Masyarakat.

Pertanyaannya adalah sudah sejauh mana mahasiswa melaksanakan kewajibannya sebagai mahasiswa?
Saya adalah orang  yang sangat sepakat bahwa mahasiwa memiliki kebebasan dalam segala hal, khususnya kebebasan dalam berpikir, juga kebebasan menentukan sikap dan tindakannya sendiri. Saya percaya bahwa cakrawala berpikir mahasiswa haruslah terbang bebas. Namun, ada tiga hal yang secara prinsip sudah melekat pada diri seorang mahasiswa, yakni peran dan fungsi mahasiswa sebagai agent of change, agent of social control, dan agent of intellectual. Ketiga prinsip inilah yang harus diejewantahkan melalui tindakan nyata, mulai dari lingkup kampus hingga lingkup masyarakat luas.

Sebagai agen perubahan, mahasiswa harus mampu merangsang dan mempelopori perubahan ke arah yang lebih baik. Sebagai agen kontrol sosial, mahasiswa harus mampu mengontrol kebijakan mulai dari kebijakan birokrat kampus hingga kebijakan pemerintah. Dan sebagai agen intelektual, mahasiswa harus mampu dan mau terjun ke masyarakat untuk melakukan edukasi, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Mahasiswa harus hadir sebagai penyambung lidah rakyat, dan sekaligus sebagai problem solver dalam mengentaskan masalah kemiskinan, buta huruf, dan lain sebagainya. Ketiga prinsip itulah yang membedakan MAHA-siswa dengan siswa.

Kembali pada persoalan mahasiswa hari ini, saya akan mencoba mengklasifikasikan mahasiswa hari ini menjadi dua model. Pertama, mahasiswa hedonis, apatis, dan individualis. Model mahasiswa seperti ini adalah yang paling umum atau paling banyak populasinya di kampus. Mereka cenderung penurut, tidak berani mengkritik dosen dan birokrat kampus, dan bungkam atas segala persoalan negeri ini. Mereka inilah yang saya sebut sebagai mahasiswa yang cacat ideologi, cacat pemikiran, dan cacat gerakan.

Mengapa saya menyebutnya cacat ideologi? Ideologi seperti apa yang sebenarnya saya maksud, yang mana seharusnya digenggam mahasiswa hari ini? Saya coba memakai istilah sederhana sesuai yang ada di KBBI bahwa ideologi adalah cara berfikir seseorang atau suatu golongan, bisa juga paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik. Dalam hal ini bisa saya asumsikan lebih sederhana lagi dan saya kaitkan dengan mahasiswa bahwa ideologi adalah paham pikiran seorang mahasiswa.

Saya mengatakan demikian karena memang realitanya tipe mahasiswa seperti ini tidak pernah mandiri dalam berpikir. Jika tidak memahami materi di kelas, alih-alih bertanya ia akan memilih jalan praktis yang biasa dilakukan siswa SMA: mencontek saat ujian. Tidak ada peraduan gagasan dikelas ketika diskusi, kalaupun bertanya, pertanyaan-pertanyaannya didapat dari Internet atau dari teman yang lain agar mendapat nilai. Maka tidak heran setelah pertanyaan terjawab, tidak ada sanggahan ataupun komentar, karena memang tidak ada rasa ingin tahu dari dirinya sendiri, minim literasi, miskin gagasan.

Selain itu, model mahasiswa seperti ini merupakan model yang penurut. Aturan dikelas dibuat oleh dosen dengan tanpa pertimbangan yang disepakati oleh mahasiswa. Pengatur segala kebijakan yang ada dikelas adalah dosen, dan mahasiswa hanya nunduk, nurut, dan membebek. Persis seperti yang disampaikan bung Eko Prasetyo dalam bukunya, "Kuliah dengan tuntutan sederhana: patuh datang dan lulus cepat".

Adapun model mahasiswa yang kedua, saya menyebutnya sebagai mahasiswa ekstrim, yakni model mahasiswa yang berani dan kritis. Model mahasiswa seperti ini bisa dibilang merupakan populasi yang cukup langka di kampus. Mereka tidak hanya kuliah datang-duduk-diam lalu pulang, melainkan aktif dalam kelas, lantang menyampaikan dan mempertahankan argumen. Mereka juga sibuk berorganisasi, banyak membaca dan berdiskusi, serta sering melakukan aksi turun jalan membela kelompok-kelompok marjinal.

Penulis : Ketua Rayon Al-kindi PMII Komisariat UNISMA

Editor : Mufid

Posting Komentar

0 Komentar